Kabupaten Sumoroto, Ponorogo kuto kilen yang saat ini menjadi sejarah



sejak bebarapa tahun yang lalu ketika ponorogo dipimpin oleh Bupati Amin kota ponorogo setiap bulan suro diadakan dua kirab  dalam rangka memperingati bulan suro bulan yang agung bagi umat islam.

kirab yang diadakan yang pertama biasanya diadakan mulai dari   jln niken gandini Setono Jenangan Ponorogo yaitu lokasi makam Batoro katong atau kota lama menuju aloon-aloon kota baru, kirab secara historis dimaksudkan sebagai perpindahan pemerintahan dari kota  lama yang dulu berpusat di Setono ke kota baru  yang saat ini di kauman dekat Aloon aloon saat ini.

kirab  dilakukan dengan iring-iringan pawai dari berbagai elemen pemerintahan dan  swasta serta masyarakat yang ingin berpartisipasi, selain itu yang paling utama yaitu disebut dengan bedol pusaka peninggalan Batoro katong pendiri kota Ponorogo  untuk dikirab ke kota baru.

selanjutnya masyarakat menyebutnya kirab penutup yang dilaksanakan pada akhir bulan suro, kirab ini dilaksanakan di desa Somoroto Kecamatan Kauman Ponorogo, disini sebenarnya hanya iring-iringan yang diikuti oleh seluruh pemengku jabatan yang berada di daerah Ponorogo bagian kilen atau di sebut kulon kali ( kali yang di sebut adalah kali tambak bayan/ kali sekayu ) dan diikuti sekolah serta pihak swasta yang ingin meramaikan.

lalu kenapa ada dua kirab di Ponorogo?



pada tahun 1780 M  berdirilah nama kabupaten Sumoroto  dengan pangeran Prawirodihardjo bergelar Raden Mas tumenggung Prawirodihardjo sebagai Bupati pertama  Sumoroto, namun pengangkatan secara resmi terjadi pada tahun 1805 M  pengangkatan dilakukan oleh Sunan Pakubuwono ke IV yang merupakan putera dari sunan Pakubuwono ke III, bernama Raden Mas Subadya.

hal ini terjadi lantaran pada saat itu Bupati Ponorogo  (kota wetan ) dalam keadaan kacau dipimpin oleh bupati yang bernama  Raden Tumenggung Surodiningrat I, kekacauan bermula saat Tumenggung Surodiningrat I memiliki banyak istri  terdapat 35 istri dan 135 selir, ini mengakibatkan anak-anak dari Bupati Surodiningrat  saling berebut kekuasaan menyebabkan kota tidak aman dan kacau bahkan rakyat pun akhirnya tidak terurus

pendirian kabupaten sumoroto pun juga  banyak didukung masyarakat  sekitar terutama penduduk di daerah barat  Sekayu kurang mendapat perhatian dari Bupati kota wetan dan  menginginkan kesejahteraan dengan pimpinan yang baru.

setelah beliau meninggal pemerintahan  Kabupaten Sumoroto digantikan putranya yang bernama Raden Mas Tumeggung Sumonegoro  saat pangeran Sumonegoro memerintah  bertepatan dengan berkobarnya perang diponegoro 1825-1830) serta setelah itu Belanda memberlakukan tanam paksa.

Belanda memeberlakukan tanam paksa kepada rakyat agar rakyat mau menanam tanaman yang laku di  di pasaran eropa yaitu kopi dan tom ( bahan yang digunakan untuk membuat batik atau tekstil)

pada saat itu  pemberlakuan tanam paksa diserahkan kepada Bupati masing masing,  selain itu untuk mensukseskan tanam paksa belanda juga memberikan iming-iming imbalan uang yang berlimpah untuk para Bupati, banyak Bupati yang berlomba-lomba menggumpulkan hasil pertanian melebihi dari ketentuan yang di berlakukan Belanda

namun bagi Pangeran Sumonegoro tidak akan dilakukan karena akan menyengsarakan rakyatnya, dia sadar jika semua rakyat menanam kopi dan tom maka akan terjadi krisis beras dan bahan makanan sehingga menyebabkan rakyat akan tambah sengsara nantinya.

bersambung.......



Posting Komentar

1 Komentar

  1. Bagaimana cara atau kiat jitu menjual kaos Dakwah, yuk kita simak tulisan ini: Kiat Jitu Merintis Pabrik Kaos Dakwah

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Fashion

    BalasHapus